Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
21.
Suatu Malam Di Broadway
Salah
satu nama jalan yang sangat terkenal di kota New York atau
tepatnya Manhattan adalah jalan Broadway Avenue. Ini adalah jalan
berarus lalulintas searah yang memanjang diagonal dari arah barat
laut menuju tenggara wilayah Manhattan. Jalan ini menjadi
terkenal karena adanya panggung-panggung teater serta menjadi
pusat aktifitas seni khususnya seni teater di New York.
Ada
sekurang-kurangnya 33 panggung teater bertebaran di sekitar jalan
Broadway. Meskipun sebenarnya hanya dua panggung teater saja yang
benar-benar berlokasi di jalan Broadway, selebihnya berada di
jalan-jalan sekitarnya yang memang berada di seputaran Broadway.
Tepatnya gedung-gedung teater ini berada di sekitar Times Square,
dan menyebar antara jalan 41st dan 55th
Street di sebelah selatan dan utaranya, serta antara Sixth dan
Eighth Avenue di sebelah timur dan baratnya.
Demikian
populernya tentang pementasan teater di Broadway ini, sehingga
untuk lakon-lakon tertentu bisa dilakukan pementasan setiap malam
untuk periode yang sangat lama, hingga berbulan-bulan. Untuk
menyaksikan pertunjukan teater di Broadway memang perlu jeli
untuk mendapatkan harga tiket yang murah karena setiap saat
setiap gedung memberikan harga sale dengan potongan harga.
Bahkan pemesanan tiket pun dapat dilakukan sejak 3 bulan hingga
setahun sebelumnya.
***
Di
hari Jumat malam. 7 Juli 2000 itu, yang adalah malam
terakhir kami di New York sebelum esoknya akan melanjutkan
perjalanan, kami sempatkan untuk jalan-jalan menyusuri sepenggal
jalan Broadway. Broadway yang kami lihat malam itu adalah
Broadway yang gemerlap dan sibuk seperti tak kenal waktu.
Pementasan
teater hanyalah bagian kecil saja dari kesibukan Broadway,
selebihnya adalah pertokoan, arena entertainment, termasuk
pedagang kaki lima, di tengah ribuan pengunjung pejalan kaki yang
entah memang berniat belanja atau sekedar berekreasi. Dan kami
adalah empat orang dari ribuan pejalan kaki yang berseliweran di
Broadway malam itu.
Saya
sempat berhenti sebentar di depan gedung teater yang malam itu
mementaskan lakon Miss Saigon. Pementasan tentang
lakon ini bahkan sudah saya ketahui sejak setahun yang lalu. Saya
memang sangat berkeinginan untuk menyaksikan pementasan ini.
Ketertarikan saya selain karena saya tertarik dengan setting
dan alur cerita lakon ini, juga karena menyaksikan teater di
Broadway pernah menjadi impian saya sewaktu masih sekolah dulu.
Di
jaman sekolah dulu, baik sewaktu tinggal di Yogya maupun di
Bandung, sewaktu sedang asyik-asyiknya menggandrungi seni teater,
saya pernah berkhayal alangkah bangganya kalau pada suatu saat
nanti saya sempat menikmati pementasan seni teater di Broadway,
di kota New York. Sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran
bahwa kesempatan itu akan datang sekian belas tahun kemudian.
Bukan hanya saya, teman-teman saya yang juga pecinta seni teater
juga punya khayalan yang sama.
Kesempatan
itu ada di depan mata saya, malam ini, kata saya dalam
hati. Sesaat saya pandangi poster-poster pertunjukan yang
terpasang di teras depan gedung Broadway Theater. Anak saya
sempat sewot : ngapain sih ngeliatin gambar-gambar
begitu. Agaknya ada tukang karcis, atau barangkali calo
penjual karcis, yang memperhatikan saya. Lalu dia menawari tiket
dengan harga sale untuk saya malam itu. Dan terpaksa saya
jawab dengan sopan : No, thank you.
Ternyata
memang tidak setiap keinginan atau bahkan obsesi sekalipun, harus
diwujudkan ketika kesempatannya telah tiba. Ya, seperti malam
itu. Keinginan sudah menggebu-gebu, kesempatan sudah di ambang
pintu, rasanya uang di saku juga masih lebih dari cukup. Tapi toh
akhirnya semua bangunan ego saya harus saya rubuhkan.
Lha,
bagaimana dengan anak-anak dan istri saya? Karena sudah pasti
mereka tidak akan dapat menikmati apa yang akan mereka lihat di
panggung teater sebagaimana saya menikmati pementasannya. Selalu
saja muncul pertimbangan lain ketika kita akan berniat mewujudkan
sebuah keinginan. Sangat berbeda kejadiannya dengan ketika
pertama kali keinginan itu muncul, sekian tahun yang lalu.
***
Jalan-jalan
menyusuri Broadway malam itu segera saya lanjutkan bersama
anak-anak dengan keluar-masuk toko, menyeberang dari satu sisi
jalan ke sisi yang lain. Membeli sekedar cendera mata agar suatu
saat nanti mereka dapat berceritera kepada para tetangga di
kampung bahwa kami pernah ke New York.
Di satu sudut
jalan kami berhenti lagi. Ada seorang berkulit hitam dengan
seperangkat alat musik drum sedang bermain solo. Demikian
enerjiknya orang itu sehingga mengundang perhatian para pejalan
kaki, setidak-tidaknya untuk berhenti menyaksikan ketrampilan solo-drummer
dengan hentakan-hentakan musiknya dan pukulan-pukulan ritmisnya
yang membuat beberapa orang bergoyang-goyang sendiri. Lalu
diakhiri dengan tepuk tangan penonton memberi apresiasi.
Ujung-ujungnya,
seorang teman dari pemain drum tersebut menawarkan CD yang
berisi rekaman-rekaman musiknya. Ah, ada-ada saja kreatifitas
orang untuk menjajakan dagangannya. Tapi setidak-tidaknya mereka
sedang bekerja keras untuk mengais rejeki yang halal.
Kemudian
kami masuk ke sebuah toko elektronok, satu dari sekian banyak
toko elektronik yang tersebar di wilayah seputar Broadway. Bagi
sementara orang, wilayah Broadway ini menjadi semacam sorga bagi
peminat barang-barang elektronik. Selain karena banyaknya macam
dan model yang ditawarkan, juga adanya peluang untuk memperoleh
harga yang agak miring bagi mereka yang paham harga-harga barang
elektronik dan tentunya lincah dalam urusan tawar-menawar.
Termasuk di antaranya berbagai jenis perangkat tata suara,
komputer, kamera, games, dsb.
Sekali kita
menanyakan tentang suatu barang, maka akan dengan lihai para
penjual itu merayu dan mempromosikannya, tentu dengan maksud agar
kita terpengaruh membeli barangnya. Untungnya, semua itu mereka
lakukan dengan tetap menghargai posisi kita sebagai konsumen,
tidak dengan cara yang kasar. Setidak-tidaknya, demikian yang
sempat saya alami.
Menyusuri
jalan Broadway di New York di saat malam hari, kami merasakan
suasana yang cukup aman. Ini dikarenakan hampir di setiap
sudut-sudut kota dan pertokoan banyak kami jumpai para petugas
keamanan. Terlihat kesan seperti di film-film layar lebar dimana
para anggota NYPD (New York Police Department) yang banyak
dijumpai di mana-mana, sepertinya siap setiap saat memburu
penjahat. Agaknya ini memang menjadi bagian dari layanan
pemerintah daerah New York untuk menciptakan suasana yang aman
dan nyaman bagi ribuan wisatawan yang setiap menit bertebaran di
seputar kota New York.
Lama-lama
rupanya anak-anak kecapekan berjalan kaki keluar-masuk toko.
Hingga akhirnya kami memutuskan untuk kembali saja ke hotel.
Sebelum sampai di hotel, kebetulan melewati restoran Cina. Maka
seperti biasa, menu yang mengandung nasi putih pun
tidak kami lewatkan. Hanya saja malam itu kami tidak makan di
restoran, melainkan pesan for to go atau minta dibungkus
untuk dibawa ke hotel saja.
Anak-anak
sudah benar-benar ingin beristirahat. Berbeda dengan bapaknya,
setiba di hotel lalu minta ijin untuk kembali turun ke Broadway
sendirian. Mengulangi lagi menyusuri Broadway dan jalan-jalan di
sekitarnya, karena tiba-tiba ingat persediaan rokok Marlboro-nya
habis.
Suatu malam di
Broadway, akan menjadi catatan kenangan tersendiri. Di sana
sebuah impian pernah dikorbankan untuk tidak jadi menyaksikan
pementasan teater Broadway. Sekalipun sudah di depan mata untuk
dapat mewujudkannya, namun toh terpaksa harus dilupakan
demi kepentingan lain yang lebih masuk akal dan tidak egois.-
(Bersambung)
Yusuf Iskandar